Minimnya talenta yang memiliki skill mumpuni di bidang IT menjadi tantangan yang semakin besar bagi perusahaan dan organisasi di seluruh dunia. Upaya mengatasi tantangan kesenjangan dan keterbatasan talenta IT ini menjadi semakin sulit karena perusahaan juga harus fokus untuk mengatasi tekanan persoalan transformasi bisnis dan keamanan digital.
Itulah garis besar kesimpulan dari riset bertajuk “IT
Talent Requirements Call for Balanced Strategy 2022” yang dilakukan oleh CIO
Magazine dan disponsori oleh Rimini Street. Riset itu melibatkan sekitar 255
responden para praktisi IT dengan posisi mulai manager & arsitek di bidang
ERP, manager, direktur IT, CTO dan CIO di perusahaan di wilayah Amerika
Serikat, Eropa, Amerika Selatan dan Asia dengan annual revenue US 250
juta dolar atau lebih.
CIO Magazine didukung oleh Rimini Street melakukan riset di antara pelanggan lunak perusahaan Oracle dan SAP. Survei ini menjangkau berbagai peran dan perusahaan IT dari $250 juta hingga $10 miliar dari 10 negara berbeda. Tujuannya untuk memberikan gambaran mengenai tantangan akibat kekurangan keterampilan IT/teknologi.
Highlights:
Selain temuan utama di atas, dalam riset ini juga
terungkap bahwa sulitnya perusahaan untuk memiliki talenta IT yang berkualitas
semakin nyata. Banyak perusahaan menganggap model kerja jarak jauh/hibrid telah
memperburuk kemampuan mereka untuk merekrut dan mempertahankan talenta IT di
tengah pasar yang kompetitif.
Riset juga mengungkapkan isu lain yang tidak kalah
seriusnya; yakni perusahaan-perusahaan lebih fokus untuk merekrut talenta IT
yang memiliki skill di teknologi baru-yang tentu saja masih sangat terbatas,
seperti talenta IT yang mumpuni di bidang cybersecurity, artificial
intelligence (AI), atau machine learning (ML) dibandingkan skill
terkait legacy sistem yang digunakan yakni enterprise software/ERP.
Padahal langkah itu termasuk sangat beresiko karena 45
% responden mengaku mendukung penggunaan software SAP, Oracle dan PeopleSoft
versi lama. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena perusahaan juga mengaku
kesulitan mempertahankan talenta IT yang memiliki skill terkait teknologi-teknologi
lama, karena para talenta IT itu sangat tertarik untuk menguasai teknologi
baru.
Dengan kata lain jika perusahaan tidak dapat menemukan keseimbangan antara mendukung solusi berbasis teknologi baru dan legacy, arsitektur IT tidak akan cukup bisa berevolusi untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan bisnis.
Dalam riset ini terungkap, tantangan yang dihadapi
perusahaan untuk merekrut talenta IT yang memiliki skill terkait teknologi
terkini itu hadir bersama sejumlah tantangan terkait teknologi lama. 50%
pelanggan Oracle yang menjadi responden riset mengaku masih menggunakan aplikasi-aplikasi
versi lama. Pun demikian dengan 43% pelanggan SAP juga menggunakan versi lama. Sebanyak 51% staf IT internal mendukung aplikasi ini, baik
untuk maintenance, modification, and enhancements. Vendor
software yang relevan sebanyak 29?n third parties 20% sisanya.
Dengan banyaknya kebutuhan
talenta IT untuk mengelola legacy system, pada saatnya tentu akan
menjadi masalah bagi perusahaan apabila ada yang pensiun atau mundur karena di
pasar pun lebih banyak talenta IT yang ingin bekerja atau meningkatkan skill
mereka terkait dengan teknologi-teknologi baru.
Dengan kata lain, di tengah tantangan terbatasnya ketersediaan talenta IT seperti saat ini, memprioritaskan satu bidang dibandingkan bidang lainnya akan meningkatkan resiko IT tidak akan mampu secara simultan mendukung operasional sehari-harinya dan berinovasi. Dengan kata lain perusahaan menghadapi tantangan pelik untuk memnuhi kebutuhan bisnisnya. Ada tiga hal yang menjadi tantangan utamanya yakni: kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi operational, mengikuti dan beradaptasi dengan perilaku pelanggan, serta menyelaraskan strategi teknologi dengan tujuan bisnis.
Hampir semua perusahaan mengalami hal yang sama,
karena itu mereka perlu meninjau kembali strategi terkait talenta IT mereka
untuk menyeimbangkan kebutuhan IT dan bisnis. Terkait strategi ini, perusahaan
melakukan rencana yang beragam.
Responden menyadari membutuhkan bantuan selama 12
bulan ke depan. Mereka berencana untuk mengandalkan pelatihan pelatihan staf
internal (62%), vendor (59%), layanan penambahan staf (59%), dan konsultan
(56%). Namun, sebanyak 55% berencana untuk shifting staf dari mengelola
teknologi lama on-premises untuk membantu proyek lain seperti cloud
migration dan digital transformation. Disinilah penyeimbangan
berperan. Sistem back-office dan aplikasi lama memerlukan tingkat
pertimbangan yang sama seperti adopsi teknologi baru. Jika tidak, maka
infrastruktur IT tidak lengkap dan tidak dapat memenuhi kebutuhan bisnis. Perusahaan
harus mempertimbangkan kekurangan talenta yang ada, kebutuhan saat ini,
kebutuhan yang sedang berlangsung, dan kebutuhan untuk berinovasi.
Berdasarkan temuan riset ini,
berikut ini 3 hal yang perlu dilakukan para pemimpin perusahaan untuk
meningkatkan strategi terkait kebutuhan akan talenta IT:
Saat Anda memikirkan
pertanyaan-pertanyaan ini lakukan cost-benefit analysis. Sertakan biaya
perekrutan, pelatihan, dan mempertahankan staf, serta menggunakan partner
ahli—apakah untuk mendukung operasi IT sehari-hari, meluncurkan teknologi baru,
dan/atau menambah staf yang ada di kedua area tersebut.
Pada akhirnya, kepercayaan itu penting. Downtime itu mahal, security sangat penting, dan non-compliance bukanlah suatu pilihan. Anda harus mengetahui partner yang mendukung Anda dan menjaga sistem Anda tetap berjalan, apa pun yang terjadi. Bahkan jika key person IT Anda mengundurkan diri atau Anda memiliki proyek inovasi yang harus diluncurkan dalam waktu cepat, Anda harus menghubungi partner dan mengetahui bahwa mereka dapat membantu.
Source: Rimini Street, Inc.