Sebagai CIO, Anda sudah memahami bahwa peran sebagai orang TI sedang berada dalam masa transformasi. Dibanyak negara berkembang atau sedang bertumbuh, banyak pimpinan masih melihat fungsi TI sebagai cost center dengan keterkaitan yang sangat kecil pada bisnis atau layanan organisasi. Padahal pada masa kini, fungsi TI merupakan jantung dari upaya para organisasi memenuhi harapan pelanggan dan memberikan nilai tambah. Hal ini juga menjadi lebih esensial bagi pemerintah yang harus memberikan layanan publik.
Bilamana sudah didaulat untuk menjadi strategic driver-pun, bisa jadi infrastruktur TI dan proses pendukungnya terjebak di masa lalu.
Berdasarkan hasil pertemuan informal, sejumlah CIO bertanya demikian: “bagaimana kita bisa menjadi tangkas dan tanggap dalam era digital, apabila beroperasi dengan menggunakan perangkat dan pendekatan yang kadaluwarsa?”
Sebagai konsultan, kami telah melihat berbagai organisasi mengalami naik turunnya peranan TI dalam tubuh mereka. Mengingat bahwa tidak semua organisasi dapat melakukan perubahan dengan cepat, paling tidak secara strategis dapat menentukan perpaduan antara pendekatan lama dan baru melalui keenam area agility di bawah ini:
Standar umum selama beberapa dekade ini adalah memiliki solusi yang berbasis lokasi – dengan segala perangkat keras dan lunak, beserta aplikasi yang dimiliki dan dikelola oleh divisi IT. Sementara saat ini, organisasi tidak perlu lagi harus membeli dan menguasai semua komponen yang mengendalikan infrastruktur TI, namun lebih mengarah pada solusi yang memberi dukungan dengan fleksibilitas, cakupan, dan efisiensi biaya yang lebih besar melalui sistem berbasis digital, cloud, dan “as-a-service” atau alih daya operasional.
Delivery Models Implementasi “waterfall” secara besar-besaran merupakan hal yang wajar dilakukan, terutama di kantor-kantor pemerintah sebagai upaya menghabiskan anggaran. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak organisasi yang memahami makna transformasi, mulai merubah model pendekatan yang lebih iteratif dan tangkas dalam pengembangan solusi sehingga memungkinkan hasil implementasi yang lebih cepat, dan memberikan end-user (pengguna) kesempatan yang lebih besar pula untuk menyampaikan input.
Tentu saat ini ekspektasi menjadi semakin meningkat dengan adanya kesempatan mendukung kolaborasi bisnis/TI dan memanfaatkan Digital Factories dan Agile Centers of Excellence, seperti halnya Fintech dan artificial intelligence. Opsi lainnya adalah menyediakan infrastruktur DevOps untuk mendukung proyek-proyek pengembangan yang bersifat tangkas dan handal hingga proses produksi. Sumber daya dapat memberdayakan para CIO dalam menerapkan produk dan layanan teknologi terbaru.
Mengelola perubahan sumber daya manusia dalam organisasi merupakan tantangan terbesar bila ingin mencapai tingkat agility. Organisasi TI sering kali lebih fokus pada peran khusus: analis bisnis, manajer quality assurance/ kepatuhan, manajer proyek atau developer. Dalam banyak kasus, peran-peran tersebut malah difokuskan pada aplikasi tertentu dalam infrastruktur TI.
SDM dengan peranan seperti itu dapat membatasi diri dalam dunia digital sehingga mengharuskan para CIO mencari SDM dengan kemampuan yang lebih fleksibel.
Apa tujuannya? Agar dapat menyatukan para professional TI dan bisnis untuk menyusun peranan yang lebih berorientasi pada produk/layanan, yang fokus pada hasil bisnis, bukan backend systems.
Keberhasilan membutuhkan pendekatan formal dan berdisiplin pada manajemen perubahan – bersamaan dengan kesabaran dan keinginan untuk memastikan semua berjalan sesuai rencana.
Tim TI yang bersifat “silo” atau berdiri sendiri merupakan hal lumrah dilakukan dengan kelompok khusus yang ditentukan untuk mendukung unit tertentu dalam organisasi.
Pendekatan tersebut dapat menghambat inovasi dan mencegah organisasi untuk dapat mengantisipasi dan bertindak terhadap peluang-peluang yang muncul. Saat ini para organisasi seharusnya sudah beralih pada TI yang berdaya cepat, yaitu mampu untuk tanggap terhadap kebutuhan inovasi dan disrupsi digital agar dapat segera mengatasi legacy system dan model operasional yang menjadikan organisasi serba tanggung.
Berdasarkan pada sejarah, organisasi TI di banyak organisasi negara berkembang dan pemerintah lebih melayani pada kebutuhan klien internal dan bagaimana mengoptimalisasi operasional sehari-hari.
Pada masa kini, terdapat perubahan fokus pada kegiatan eksternal dengan menerima kesempatan untuk bermitra dan bersama-sama para pemangku kepentingannya berupaya untuk mengatasi ekspektasi konsumen dan tuntutan publik lainnya.
Organisasi masa kini semakin beralih dari penekanan konvensional pada pembelanjaan (procurement) dengan mengkonsolidasikan semua konsultan TI dan vendor dalam satu gugus tugas dalam upaya menggalakkan layanan bersama (shared services). Tujuan utama dari upaya ini adalah menciptakan ekosistem kemitraan yang mempercepat dan mempermudah dalam menerapkan alih daya aplikasi, mendukung joint-ventures, dan menciptakan layanan bersama.
Tantangannya tentu ada: bagaimana menciptakan strategi perolehan sumber daya yang selaras dengan pengembangan perangkat lunak dengan kontrak-kontrak manajemen alih daya aplikasi yang lebih terstruktur.
Agile, merupakan model pengembangan yang sangat terstruktur. Disamping itu juga merupakan sebuah filosofi dan pola pikir dalam dunia digital yang bergerak dengan cepat dan selalu berubah. Ini saat terbaik untuk memikirkan bagaimana organisasi dapat menerapkan keenam pendekatan tersebut mendorong Anda sebagai CIO untuk melakukan evaluasi perubahan menjadi organisasi yang tangkas.