iCIO Community baru-baru ini menyelenggarakan acara Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan para pemimpin TI Indonesia.
Diskusi ini bertujuan menghadirkan wawasan mendalam dan solusi praktis dalam menghadapi ketidakpastian bisnis di era yang dinamis.
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian iCIO Executive Leadership Forum dan iCIO Awards 2024, yang puncaknya akan diselenggarakan pada 6 November 2024.
Mengusung tema utama "Adapting to Uncertainty: Empowering Business Resilience in a Dynamic Era", rangkaian acara ini bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam dan solusi praktis bagi para pemimpin TI dalam menghadapi ketidakpastian bisnis di era yang dinamis.
Pada sesi pertama FGD, para pemimpin TI membahas pentingnya menyelaraskan strategi teknologi informasi (TI) dengan dinamika bisnis yang terus berubah.
Perusahaan Utamakan Pengembangan SDM Internal
Sesi bertajuk "The Necessity of Optimized IT Strategies" ini menyoroti bagaimana perusahaan harus memprioritaskan proyek TI untuk menjaga keseimbangan antara inovasi, keamanan, dan efisiensi biaya, khususnya di tengah kondisi ekonomi yang melambat dan keterbatasan anggaran TI.
Salah satu temuan menarik dalam diskusi ini adalah hasil survei McKinsey yang mengungkap bahwa lebih dari 90% CIO di seluruh dunia sedang bertransformasi dengan memanfaatkan teknologi cloud, artificial intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT). Teknologi-teknologi ini dianggap sebagai pilar utama dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi bisnis di era digital.
Namun, kendati perusahaan banyak berinvestasi dalam transformasi teknologi, McKinsey mencatat bahwa 70?ri transformasi TI tidak mencapai hasil yang diharapkan. Penyebabnya meliputi keterbatasan pendanaan, bandwidth manajemen yang terbatas, implementasi yang tidak menyeluruh, serta kurangnya dampak signifikan akibat keterlambatan dalam eksekusi. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi digital yang sukses memerlukan strategi yang matang dan arah bisnis yang jelas.
Menariknya lagi, survei McKinsey juga menunjukkan bahwa 58% perusahaan top performer lebih memilih mengembangkan bakat internal dibandingkan outsourcing untuk memenuhi kebutuhan teknologi mereka.
Vivek Jha, Associate Partner di McKinsey & Company, menekankan bahwa investasi terbesar perusahaan bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada pengembangan kapabilitas internal. "Dengan fokus pada pengembangan bakat di dalam organisasi, perusahaan dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih berkelanjutan," jelasnya.
Berdasarkan diskusi para peserta FGD, untuk memastikan keberhasilan transformasi TI, CIO perlu menghubungkan strategi teknologi dengan tujuan bisnis yang jelas serta mempertimbangkan keterkaitan antara teknologi dan operasional perusahaan.
Membangun kapabilitas transformasi yang kuat juga menjadi langkah penting agar perusahaan dapat menghadapi ketidakpastian bisnis dan mempertahankan daya saing di era digital ini.
Dengan fokus pada strategi yang tepat dan investasi pada bakat internal, perusahaan diharapkan mampu menavigasi tantangan bisnis yang dinamis serta memaksimalkan potensi teknologi untuk mencapai efisiensi dan inovasi.
Cloud Jadi Kekhawatiran Utama
Dalam sesi kedua FGD yang mengangkat tema “Cutting-edge Security Measures: Innovations, Challenges, and Future Directions”, para pemimpin TI menyoroti pentingnya membangun ketahanan siber di tengah meningkatnya ancaman digital.
Diskusi ini menegaskan bahwa serangan siber, terutama terkait dengan teknologi cloud, menjadi ancaman utama bagi banyak organisasi. Namun, kesiapan menghadapi serangan ini masih bervariasi, dengan beberapa perusahaan mengaku siap tetapi masih memiliki area yang perlu ditingkatkan.
Tantangan yang dihadapi dalam memperkuat keamanan siber meliputi keterbatasan anggaran, sumber daya, dan dukungan manajemen. Di tengah ancaman siber yang semakin berkembang, organisasi perlu mengadopsi langkah-langkah proaktif untuk melindungi sistem mereka, serta mempersiapkan diri terhadap ancaman yang semakin kompleks.
Menurut Andrew Tirtadjaja, Risk Assurance Director PwC Indonesia, berdasarkan laporan PwC “2024 Digital Trust Insights - Asia Pacific,” serangan yang terkait dengan teknologi cloud menjadi kekhawatiran utama bagi 51% responden. Selain itu, lebih dari 40% perusahaan mengalami pelanggaran data yang menyebabkan kerugian lebih dari US$1 juta pada tahun 2024, yang meningkat dari 31% pada tahun sebelumnya.
Seiring perpindahan dari sistem on-premises ke cloud, serangan terhadap cloud menjadi semakin sering. Namun, banyak organisasi keliru memahami konsep tanggung jawab bersama, yang menyebabkan kesalahan, seperti pengaturan access control yang buruk, pengabaian prinsip least privilege, dan kurangnya standardisasi keamanan. Untuk mengurangi risiko ini, perusahaan disarankan menggunakan Multi-Factor Authentication (MFA), least privilege, serta menerapkan Identity and Access Management (IDM). Pemantauan dan audit berkala juga sangat penting untuk menjaga keamanan sistem.
Terkait keamanan siber, Indonesia sendiri telah memperkenalkan beberapa regulasi, termasuk Perpres No.82/2022 tentang perlindungan infrastruktur informasi vital dan UU PDP No.27/2022 tentang privasi data. Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat keamanan siber, namun pada saat yang sama juga menantang perusahaan untuk terus berinovasi dalam menghadapi ancaman yang semakin kompleks.
Pada sesi diskusi ini, dipaparkan bahwa integrasi risiko siber ke dalam peta risiko organisasi sangat penting untuk memastikan kesiapan menghadapi ancaman digital di masa depan. Andrew juga menekankan bahwa "kolaborasi antara industri dan regulator akan menjadi kunci dalam meminimalisir risiko digital di masa mendatang.