Kualitas Data dan Informasi yang ‘Membusuk’

Screen_Shot_2021-01-06_at_12_19_16.png
Share

“Information is a source of learning. But unless it is organized, processed, and available to the right people in   a format for decision making, it is a burden, not a benefit.”    --William Pollard

 

Di tengah gelombang digitalisasi, korporasi kini tampak kewalahan mengelola informasi dengan baik dan benar. Pada era awal komputerisasi, korporasi mengorganisasikan informasi dalam ‘tabel’ yang terstruktur. Otomatisasi proses bisnis, dengan ERP (Enterprise Resource Planning) sebagai pilar utamanya, berlangsung makin efektif. Kini, informasi digital datang dari berbagai arah dengan data yang ‘tidak terstruktur’, yang sejatinya menggambarkan realitas lingkungan bisnis yang sebenarnya. Surat dan dokumen elektronik, file dalam berbagai format, foto digital, rekaman suara, video, dan juga tweets serta pertukaran informasi lewat media sosial terjadi dalam jumlah yang jauh melampaui data yang lebih terstruktur. Diperkirakan sampai 90?ri semuanya ini berasal dari unstructured information.

 

Upaya korporasi mengelola tipe informasi digital ini secara sistematis dan baik jauh dari memadai ketimbang yang dilakukan untuk yang tesimpan pada tabel basis data relasional dan sistem ERP. Informasi adalah aset yang mesti dikelola dengan disiplin ketat, suatu keniscayaan dalam transformasi korporasi menjadi makin digital. Informasi adalah mata uang ekonomi digital, dengan kualitas data sebagai pilar kritikal penopangnya.  Data dengan kualitas baik akan menjadi informasi bermanfaat untuk memberikan perspektif bisnis yang berharga. Namun, ada yang mencatat bahwa basis data yang menyimpan data terstruktur hanya memberikan kurang dari separo informasi yang diperlukan. Bahkan, 80% informasi yang relevan untuk bisnis berasal dari format yang tidak terstruktur.  Dan menjadikan data tidak terstruktur sebagai informasi integral berkualitas tinggi merupakan tantangan besar yang dihadapi korporasi di berbagai penjuru dunia.

 

Masih rendahnya kualitas data bisa kita rasakan pada rutinitas bisnis maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.  Ini bisa dan telah mengakibatkan kebijakan yang salah arah pada skala nasional, dan keputusan bisnis yang keliru pada skala mikro, termasuk alokasi sumber daya yang tidak tepat. World Economic Forum menyatakan perlunya pemerintah di seluruh dunia memperkuat kapasitas biro statistik guna memperoleh data lebih akurat, lengkap dan konsisten, di samping tetap independen. 

 

Korporasi mesti senantiasa memperbaiki kualitas datanya. Ini demi bisnis yang berkelanjutan, kesempatan meraih peluang baru, memberikan konsumen interaksi menyenangkan, efisiensi proses internal, dan tak kalah penting layanan baik pada pegawainya.  Sebagai contoh sederhana ketika ada salah satu karyawan sebuah perusahaan akan berhenti bekerja, sesuai aturan ada pesangon yang menjadi haknya. Namun seringkali terjadi perhitungan jumlah pesangon tersebut salah, dikarenakan Human Resources tidak mendapatkan informasi yang tepat sebagai dasar penghitungan jumlahnya. Keputusan penting yang fatal akibat misleading information. Ini mestinya bukan hal remeh, karena menyangkut nasib dan merugikan karyawan.  Kualitas data yang buruk mengakibatkan misguided decision. Bagaimana perusahaan itu bisa melayani konsumen dengan baik dan mengembangkan bisnisnya kalau mengelola internal customer saja tidak becus?

Sejumlah perusahaan kelas dunia sudah membangun fondasi data yang kokoh dan terintegrasi. Malah sebagian secara rutin mengukur kualitas datanya. Ada enam dimensi yang dijadikan kriteria oleh para pakar:  lengkap, unik, tepat-waktu, sahih, akurat, dan konsisten. Pada sebagian kita, ini masih merupakan kemewahan, karena memerlukan upaya dan biaya ekstra. Dalam jangka panjang, ini lebih efektif dibandingkan konsekuensi yang mesti dibayar akibat tidak terpantaunya (turunnya) kinerja bisnis. Mengutip Arthur C. Nielsen, founder perusahaan riset pasar ACNielsen, bahwa the price of light is less than the cost of darkness.

 

Tantangan selanjutnya adalah mendapatkan data bersih: tidak duplikat, tidak usang, dan tidak trivial, yang dikenal dengan ROT (redundant, obsolete, trivial). Efek samping ledakan pertumbuhan data adalah timbulnya sampah informasi digital. Membersihkan digital debris ini menjadi persoalan baru, dengan ROT bisa mencapai 30%-70%.  Ini menjadi kerak kolesterol menghambat peredaran bisnis korporasi yang mesti lancar dan cepat. ROT merupakan hal baru yang masih terabaikan dari rantai daur ulang pengelolaan informasi. 

 

Menumpuknya informasi yang ‘membusuk’ ini menimbulkan biaya tinggi (penyimpanan, pencarian yang lama dan sulit, dan menimbulkan keputusan bisnis yang salah). Pernah terjadi, akibat referensi data yang salah (usang dan duplikat), pengeboran minyak di laut meleset beberapa puluh meter dari koordinat yang benar, menimbulkan kerugian ratusan ribu dolar. Dalam dunia konstruksi, banyaknya as-built drawing tanpa tahu versi yang benar, menimbulkan kerumitan operasional. Acapkali bisnis perlu informasi cepat dari belantara data digital yang amburadul guna keperluan litigasi. Kegagalan melakukan e-discovery tepat-waktu bisa menimbulkan konsekuensi hukum dan biaya besar. Belum lagi data sensitif yang salah tempat, yang bisa jatuh ke tangan yang salah.

 

Selayaknya kita rutin mencanangkan clean-up day. Bersih-bersih, bukan saja terhadap barang fisik, namun juga informasi sampah, termasuk hoax.  Ini memerlukan proses, teknologi, dan disiplin berhubungan dengan repositori data dalam 3V besar (volume, velocity, variety). Yang lebih penting adalah perubahan management mindset yang memandang informasi sebagai aset krusial.  Bahkan Napoleon Bonaparte, jauh sebelum adanya teknologi digital, sudah menganggap bahwa ‘war is 90% information’. Tatkala medan pertempuran menjadi lebih digital, tata kelola informasi yang baik adalah kunci untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.