Bagaimana pelaku usaha menyiapkan diri untuk memenuhi kewajiban yang diatur PP 82/ 2012? Ini pertanyaan menarik menjelang berlakuknya peraturan ini secara resmi pada Oktober 2017 mendatang.
Diusulkan sejak tahun 2012, peraturan ini berisikan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara sistem transaksi elektronik, salah satunya adalah menempatkan data center serta disaster recovery center di Indonesia. Tujuannya, untuk mengamankan seluruh data penting dan rahasia seperti informasi pribadi dan transaksi keuangan dari ancaman pihak luar, sekaligus juga mempermudah negara di saat memerlukan investigasi terkait kasus-kasus tertentu.
Namun, implementasinya tentu tak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, dalam prosesnya, PP PSTE ini masih banyak menemui pertanyaan dari penyelenggara bisnis di berbagai industri. Pelaku industri menilai, masih banyak aspek yang belum tercakup di dalamnya sehingga menimbulkan keraguan bagi para pelaku industri dalam menentukan strategi selanjutnya untuk memenuhi peraturan tersebut.
Regulasi yang belum jelas dan lengkap mengenai apa-apa saja yang mesti dilakukan oleh pelaku industri membuat mereka merasa kebingungan dalam menentukan rencana implementasi peraturan ini. Contoh yang sederhana saja, pemerintah belum memberikan acuan spesifikasi data center dan layanan penyedia cloud yang layak dipilih oleh pelaku industri saat mereka nantinya akan menggunakan layanan cloud. Padahal, industri juga membutuhkan rekomendasi dari pemerintah terkait implementasi peraturan tersebut agar mereka tetap comply dengan regulasi pemerintah dan terhindar dari resiko sanksi.
Tanpa rekomendasi tersebut, industri sulit untuk bergerak. Bayangkan jika pada akhirnya mereka memilih layanan cloud yang tidak sesuai spesifikasi, atau membangun infrastruktur cloud yang tidak sesuai compliance menurut pemerintah. Selain sangsi yang menunggu, mereka pun akan kesulitan karena harus mengulangi seluruh proses tersebut dari awal.
Menjadikan layanan public cloud agar comply dengan regulasi pemerintah memang menjadi tugas penyedia layanan itu sendiri. Tapi bagaimana dengan private cloud atau on-premise infrastructure yang menjadi domain si pelaku industri itu sendiri?
Proses membangun sebuah infrastruktur on-premise atau private cloud membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Mulai dari proses pemilihan perangkat, sistem operasi, aplikasi dan infrastruktur pendukung, hingga pengetesan. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Itu pun belum memperhitungkan jika di dalam prosesnya, terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Dengan tenggat waktu yang tinggal sebentar lagi dan proses implementasi yang memakan waktu, pelaku industri tentunya tidak ingin gegabah dalam melakukan migrasi ke cloud.
Segala kesulitan serta habisnya waktu dalam proses implentasi sebenarnya bisa dihindari jika pelaku industri bisa memilih solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur on-premise atau private cloud mereka.
Untungnya, saat ini para vendor teknologi pun juga telah menghadirkan solusi-solusi untuk mengatasi panjangnya waktu implementasi tersebut. Dengan solusi terintegrasi dari masing-masing vendor, para pelaku industri pun bisa dengan mudah melakukan implementasi atau migrasi aplikasi mereka, baik ke public cloud maupun private cloud. Solusi ini bisa hadir dalam bentuk infrastructure as a service (IaaS) yang meliputi compute, storage, dan networking, serta platform as a service (PaaS) yang umumnya menghadirkan berbagai platform dari masing-masing vendor.
Masalah juga biasanya muncul saat para developer harus memindahkan aplikasi yang berbasiskan tools yang ada di public cloud ke dalam lingkungan on-premise. Aplikasi-aplikasi tersebut biasanya akan mengalami masalah kompatibilitas karena akan berjalan di lingkungan yang berbeda dengan lingkungan tempat aplikasi tersebut dikembangkan.
Problem tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan membuat sebuah environment private cloud terpisah yang memiliki standar yang sama. Namun solusi ini juga biasanya masih menyisakan problem dalam hal integrasi. Begitu pula dengan solusi converged infrastructure yang biasanya memiliki masalah kompatibilitas dengan layanan public cloud.
Penyedia teknologi saat ini sudah memikirkan juga bagaimana menghadirkan fasilitas public cloud dalam on-premise. Fasilitas ini memungkinkan kombinasi fleksibilitas private cloud dan public cloud, namun dengan keamanan dan ketangguhan seperti infrastruktur on-premise.
Solusi-solusi seperti Oracle Cloud Machine, IBM Bluemix, Microsoft Azure Cloud dan beberapa solusi lainnya membuat pelaku industri lebih mudah saat akan beralih ke cloud. Dengan integrasi perangkat dan aplikasi yang telah telah teruji, proses implementasi dan migrasi ke cloud bisa dilakukan lebih cepat. Masalah integrasi aplikasi bisa dihindari karena mulai dari public cloud, private cloud, hingga on-premise menggunakan platform yang sama.
Selain itu, dari sisi bisnis, hadirnya solusi-solusi tersebut juga bisa menjadi salah satu cara untuk menghemat biaya operasional. Pasalnya, tersedia pula skema subscription untuk penggunaan sesuai dengan kebutuhan. Dengan skema pembiayaan berbasis subscription seperti pada layanan public cloud, pelaku industri bisa menentukan sendiri kapasitas yang diperlukan dan bisa dikembangkan seiring dengan pertumbuhan bisnis. Namun meskipun begitu, solusi ini juga tetap memberikan fleksibilitas karena model bisnis ini memungkinkan pelaku bisnis untuk tetap memiliki akses langsung ke perangkat karena tetap terpasang di infrastruktur on-premise.
Jadi, sambil menunggu kepastian dari PP PSTE tersebut yang semakin mendekati tenggat waktu, pelaku industri sebenarnya bisa memanfaatkan solusi ini sebagai solusi yang lebih cepat dan efisien dalam melakukan transisi ke cloud.